Sejarah terasi. Pada zaman dahulu
kala sekitar abad 14 ketika Nusantara masih terdiri dari berbagai wilayah
kerajaan dan sebagian besar masih terdapat hutan belantara, alkisah ada tiga
orang pengembara yakni pangeran Walangsunggang beserta istrinya Nyi Mas Endang
serta adiknya yang bernama Nyi Mas Rarasantang bertualang menyusuri hutan
belantara, entah apa yang melatar belakangi petualangan mereka namun yang pasti
pada suatu ketika mereka menjumpai sebuah padukuhan di hutan dekat pantai yang
bernama padukuhan Lemah Wungkuk. Disana mereka menemukan sebuah rumah yang
dihuni oleh seorang kakek tua yang bernama Ki Gedeng Alang-alang. Dirumah
tersebut pangeran Walangsunggang beserta istri dan adiknya beristirahat dan kemudian
pada akhirnya memutuskan untuk tinggal di padukuhan tersebut. Setiap hari
pangeran Walangsunggang memasuki hutan belantara untuk menebangi pohon. Hutan
yang sudah lapang kemudian ditanami palawija sehingga menjadi perkebunan. Ki
Gedeng yang melihat hutan belantara diwilayahnya berubah menjadi perkebunan palawija
merasa sangat senang sekali, kemudian pangerang Walangsunggang diberi jala dan
perahu kecil untuk menangkap ikan. Tiap malam pangeran Walangsunggang
pergi ke laut menangkap ikan dan rebon
untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama istri dan adiknya.
Melihat keberhasilan pangeran
Walangsunggang dalam berkebun dan menangkap ikan mebuat banyak orang tertarik
sehingga pada akhirnya padukuhan tersebut menjadi sebuah pemukiman yang banyak penduduknya
dengan mata pencaharian berkebun serta menangkap ikan dan rebon. Singkat
cerita, raja Padjajaran yang pada waktu itu dipimpin oleh Prabu Siliwangi sang
penguasa wilayah tersebut mendengar informasi tentang adanya padukuhan Lemah Wungkuk
yang dihuni banyak orang sehingga menyuruh utusan untuk meminta upeti atau
pajak. Dikirimlah upeti dari padukuhan tersebut yang berupa hasil alam dan olahan
udang rebon yang ditumbuk halus. Sang raja penasaran dengan upeti yang
dikirimkan kemudian mencicipi olahan rebon tersebut dan ternyata beliau sangat
menyukainya (Terasih). Berawal dari cerita inilah kemudian istilah terasi yang berasal
dari kata Terasih yang artinya suka digunakan untuk menamai olahan rebon
tersebut.
Karena sang Prabu sangat menyukai
hasil olahan rebon (terasi) dari padukuhan Lemah wungkuk maka beliau penasaran
dan memerintahkan utusannya untuk mencari tahu bagaimana cara membuatnya serta menyampaikan
bahwa setiap tahun padukuhan tersebut harus membayar upeti berupa sepikul
bubukan rebon yang sudah halus dalam bentuk gelondongan. Tidak lama kemudian datanglah
sang utusan menemui Walangsunggang untuk menyampaikan perintah sang raja dan
berusaha mencari tahu bagaimana cara membuat olahan rebon tersebut.
Walangsunggang pun menyanggupinya dan memberitahukan bahwa udang rebon
ditangkapnya tiap malam dengan menggunakan jala dan diambil keesokan paginya,
setelah itu rebon diuyahi (digarami), lalu diperas, dijemur, setelah mengering
kemudian ditumbuk sampai halus dan dibuat gelondongan. Adapun air perasannya
dimasak ditambah dengan bumbu-bumbu. Walangsunggang pun mengklaim bahwa masakan
perasan air rebon lebih enak daripada olahan rebonnya dan diberi nama dengan
petis blendrang. Mendengar pemaparan yang disampaikan Walangsunggang sang
utusan tersebut merasa penasaran dan ingin mencicip petis blendrang, kemudian
diambilkanlah oleh istri Walangsunggang dan mereka semua makan bersama dengan
lauk pauk perasan air rebon. Sang utusan pun keenakan dan sangat menyukai air
rebon tersebut, kemudian beliau mengumpulkan seluruh warga dan mendeklarasikan
bahwa mulai saat itu wilayah tersebut diubah nama menjadi Cirebon yang berasal
dari kata cai (air) dan rebon yang artinya Air perasan rebon.
Anda berminat membeli terasi? kami jual terasi juwana unggul murah dengan bahan udang rebon pilihan. Kami siap kirim kirim ke seluruh Indonesia melalui ekspedisi terpercaya.
Anda berminat membeli terasi? kami jual terasi juwana unggul murah dengan bahan udang rebon pilihan. Kami siap kirim kirim ke seluruh Indonesia melalui ekspedisi terpercaya.
Komentar
Posting Komentar